Pembelajaran Jarak Jauh sebagai Momentum Transformasi Pendidikan Indonesia yang Memerdekakan

e-learning

 

Pendidikan Indonesia dan Pandemi Covid-19

 

Sejak terjadinya penyebaran Covid-19 di seluruh dunia, terjadi disrupsi besar-besaran di segala aspek kehidupan, tanpa terkecuali pendidikan. Tidak satu pun negara, termasuk Indonesia yang siap menghadapi masa sulit seperti saat ini, khususnya bagi sekolah dan institusi pendidikan. Bahkan, Program Merdeka Belajar yang baru-baru ini diluncurkan seakan sulit untuk diimplemetasikan karena anak-anak dan guru harus belajar dan mengajar dari rumah. Alhasil, pemberlakuan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) menjadi salah satu alternatif siswa agar dapat tetap belajar selama masa pandemi.

Belajar dan mengajar dari rumah menjadi tantangan terbesar bagi guru dan siswa selama Pandemi Covid-19. Sebagai salah satu bentuk perhatian dari pemerintah, berbagai solusi diberikan agar pembelajaran tetap berjalan. Namun, apakah solusi yang diberikan ini sudah tepat guna dan tetap dapat menyediakan pembelajaran yang kualitas? Efektifitas PJJ di setiap daerah tentunya berbeda-beda bergantung pada infrastruktur dan sumber daya manusianya. Tidak dipungkiri banyak institusi pendidikan yang karena mengalami banyak kendala, akhirnya harus pasrah dan memilih untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar “seadanya”. Kurikulum darurat yang diberikan oleh pemerintah tidak serta merta menjadi jalan keluar dipermudahnya kegiatan belajar mengajar. Lalu, ide atau gagasan apa yang bisa diberikan agar PJJ dapat dioptimalkan sehingga siswa dapat mendapatkan pembelajaran yang berkualitas?

Transformasi Pendidikan Indonesia

 

Berefleksi dari situasi yang dialami saat ini, sebenarnya Pandemi Covid-19 ini dapat dijadikan sebagai momentum untuk mentransformasi pendidikan di Indonesia. Setidaknya ada tiga hal yang bisa dijadikan panduan untuk mewujudkan pendidikan Indonesia yang memerdekakan selama PJJ.

Modifikasi Kurikulum

 

Berdasarkan Sipres No. 211, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2020) memberikan kebebasan bagi setiap sekolah untuk memodifikasi kurikulumnya selama pandemik covid-19.

Selama PJJ, kurikulum sangat bisa dimodifikasi dengan cara mengkontekstualkannya dengan kearifan lokal masing-masing daerah tetapi tetap berstandar global. Misalnya, PJJ pada pendidikan usia dini dan dasar dapat lebih menekankan pada pembentukan karakter dan pengenalan diri. Enam profil pelajar Pancasila yaitu beriman, bertakwa dan berakhlak, kebhinnekaan global, bergotong royong, mandiri, mampu bernalar kritis dan kreatif adalah atribut yang perlu diperkenalkan sejak dini. Selama PJJ, guru dapat memberikan kegiatan sederhana di rumah seperti disiplin beribadah, membantu orang tua, mandiri mengurus diri, dan melakukan aktifitas menyenangkan namun tetap mendidik. Hal ini tidak memerlukan begitu banyak infrastruktur tetapi anak dapat belajar walaupun tidak ke sekolah.

Pembelajaran yang Berorientasi pada Siswa

Ki Hadjar Dewantara (2004) pernah berkata dengan bebas dari segala ikatan dan suci hati berhambalah kita kepada sang anak. Kalimat ini bukan berarti guru harus menghamba pada siswa, tetapi guru harus memahami bahwa pembelajaran harus berorientasi pada siswa. Guru harus peka pada kebutuhan siswa terlebih selama PJJ ini dilakukan. Seperti yang kita ketahui sejak siswa diharuskan belajar di rumah, semakin banyak kendala yang dihadapi dalam pembelajaran. Dulunya siswa yang kesulitan dalam mengikuti penjelasan masih bisa dibantu langsung oleh guru. Namun sejak PJJ diberlakukan, bisa jadi siswa yang kurang cepat menangkap penjelasan malah makin tertinggal. Oleh karena itu, perlu diperhatikan bahwa untuk mewujudkan pembelajaran yang berorientasi pada siswa, pendidikan di Indonesia harus bersifat inklusif (McLeskey & Waldron, 2000). Pendidikan inklusif dapat menjadi kunci dalam mengakomodir kebutuhan setiap siswa selama PJJ bahkan pasca Pandemi Covid-19.

Untuk menciptakan pendidikan yang inklusif, pembelajaran berdiferensiasi bisa menjadi salah satu pendekatan yang dipakai selama PJJ. Pembelajaran seperti ini bertujuan untuk memberdayakan potensi dan bakat unik setiap anak (Tomlinson, 2017). Misalnya, selama PJJ ini, dengan pendekatan terdiferensiasi, guru dapat membuat materi ajar yang berbeda untuk anak yang fast learner dan slow learner. Agar siswa dapat dengan mudah memahami pelajaran, misalnya, guru dapat meminta siswa untuk membuat lagu bagi yang menyukai musik, puisi bagi yang menyukai sastra atau peta pikiran bagi yang menyukai komputer. Intinya adalah guru harus mampu membuat pembelajaran yang bervariasi dan beragam agar penyeragaman bisa diminimalisir dan kebutuhan siswa bisa terakomodir. Kita tidak bisa memberikan penilaian yang terukur dengan meminta monyet, gajah dan ikan memanjat pohon, bukan?

Asesmen Terintegrasi yang Berkualitas dan Bermakna

Selama ini, asesmen di Indonesia tergolong masih tradisional. Banyak sekolah yang cenderung memilih ujian tertulis sebagai alat ukur pencapaian kompetensi siswa. Tidak jarang soal ujian yang diberikan pun hanya mampu mengukur tingkat pemahaman siswa pada teori-teori yang dipelajari di kelas. Saat Pandemi Covid-19 melanda dunia, banyak guru mulai kebingungan mencari cara untuk melakukan asesmen. Metode ujian tertulis memang masih bisa dilakukan,

misalnya dengan memanfaatkan teknologi seperti Google Form. Akan tetapi, metode ini memiliki banyak celah, seperti kendala jaringan saat ujian dan adanya kemungkinan praktik kecurangan.

Salah satu ide yang dapat dilakukan selama PJJ adalah asesmen terintegrasi (integrated assessment) berbasis proyek atau studi kasus. Asesmen ini dapat menciptakan penilaian yang berkualitas dan bermakna. Asesmen terintegrasi mengusung penting penilaian yang tidak hanya terfokus pada angka tetapi memberikan pengalaman belajar yang dapat diingat siswa sepanjang hayat. Secara teknis, asesmen terintegrasi akan menggabungkan beberapa pelajaran yang mengukur kompetensi dasar yang serupa sehingga menghasilkan sebuah proyek (Drake & Burns, 2003). Proyek ini akan dinilai secara holistik, sehingga penilaian tidak hanya bertujuan untuk mengasah pemahaman dan keterampilan siswa, tetapi juga menumbuhkan kepekaan dan empati. Konsep menyentuh “kepala, hati dan tangan” (head, hand, and heart) akan dijadikan sebagai pedoman dalam pembuatan asesmen yang mengarah pada aksi nyata seperti kegiatan sosial atau penyuluhan. Semoga gagasan-gagasan ini dapat mewujudkan pendidikan Indonesia yang memerdekakan, semakin maju dan dapat bersaing secara global.

Kalvin Sandabunga

Kalvin adalah seorang pengembang kurikulum dan instruktur guru di Sekolah Dian Harapan Makassar. Kalvin menyelesaikan pendidikan S1 di jurusan Pendidikan Biologi, Universitas Pelita Harapan dan S2 di jurusan Expert Teaching Practice, Monash University, Australia. Kalvin telah memiliki pengalaman mengajar dari level SD hingga universitas di dalam dan luar negeri.

Diterbitkan : 25 November 2020 13:57
Sumber : Dewantara, K. H. (2004). Bagian pertama pendidikan. Jakarta: MLPTA. Drake, S. & Burns, R. (2003). Me
Penulis : Kalvin Sandabunga

 

Sumber:  https://ayoguruberbagi.kemdikbud.go.id/artikel/pembelajaran-jarak-jauh-sebagai-momentum-transformasi-pendidikan-indonesia-yang-memerdekakan/


Posting Komentar